Sirojul Khafid
3 min readSep 18, 2020

Resensi Mondok: Pesantren Bukan Bengkel Ketok Magic

Sumber gambar: Instagram Pusbangfilm

Ada semacam stigma apabila pesantren merupakan pilihan terakhir untuk pendidikan. Setelah sekolah umum tidak menerima seorang anak (khususnya karena dia nakal), maka pesantrean adalah pelabuhan terakhir. Pesantren seolah bengkel ketok magic. Anak “rusak” yang masuk bisa keluar menjadi bagus.

Layaknya sekolah umum, pesantren juga merupakan pendidikan yang tertata. Kajian dan rujukannya jelas. Dalam hal pendidikan, pesantren memiliki jenjang pelajaran dan kitab yang runut.

Bedanya, tidak semua pesantren mengeluarkan bukti administrasi seperti kertas ijazah termasuk detail nilai. Tidak adanya bukti ini bisa jadi penyebab orang meremehkan pendidikan pesantren. Dengan lebih mengutamakan keahlian daripada ijazah, justru inilah esensi pendidikan.

Saya sepakat dengan argumen Gus Baha. Dia mengatakan apabila santri juga perlu bangga. Apabila dia bisa tafsir dan khatam kitab tertentu, katakan saja, “Saya ahli tafsir,” atau “Saya menguasai ilmu fiqih.” Santri perlu menunjukan agar tidak selalu diremehkan.

Stigma ini mendapat jawaban di film Mondok yang tayang di TVRI pada Rabu (16/9/2020) pukul 21.30 WIB. Cerita berfokus pada sosok Reyhan, anak nakal yang tidak diterima banyak sekolah. Pesantren jadi pilihan terakhir. Saat masuk pesantren, orangtua Rayhan komplain kepada kiayi perkara jadwal yang padat dan jam tidur yang sedikit. Jawabannya saya tulis secara lengkap, karena ini bagian terpenting dari film.

“Jangan anggap pesantren tempat pembuangan anak tidak berguna. Ini tempat pendidikan yang serius. Sekolah mana yang mendidik dan melatih murid-muridnya untuk menghafal ribuan ayat suci Al-Quran tanpa melakukan kesalahan satu huruf pun. Sekolah mana yang mendidik murid-muridnya untuk menahan rasa malu dan mewajibkan menutup aurat. Mereka cuma belajar ilmu dan pengetahuan, tapi tidak belajar tentang kehidupan. Di pesantren, para santri belajar dan mengamalkan ilmu hidup.”

Itu merupakan bagian paling penting dari film, sisanya bisa kita abaikan. Secara cerita, Mondok tidak runut antara set up dan punch line. Awalnya Reyhan tidak mau masuk pesantren. Dia hanya bersedia apabila di pesantren ada pelajaran musik.

Entah darimana pemikiran tentang pelajaran musik bisa datang. Tidak sekalipun terlihat Reyhan menyanyi atau bermain alat musik. Kejanggalan berlanjut saat Reyhan berkegiatan di pesantren. Tidak ada pelajaran musik sama sekali, terutama yang Reyhan ikuti. Padahal pelajaran musik menjadi dasar cerita ini berjalan. Bahkan tidak ada momen yang menjadi titik balik Reyhan berubah dari nakal menjadi baik.

Sepertinya sutradara atau penulis naskah mendapat “beban” lantaran ini film edukasi. Mungkin ucapan-ucapan berlabel edukasi lebih penting daripada kesolidan cerita.

Hal ini mengingatkan saya pada salah satu teknik iklan hard selling. Proses memberikan informasi persuasif dilakukan secara terang-terangan. Hal ini sangat terasa pada momen ayah Reyhan mengatakan bahwa sekolah pengecut, hanya mau menerima anak-anak yang baik. Menurutnya, sekolah bisa memfasilitasi anak yang “tidak baik” menjadi baik.

Hard selling lain terjadi pada momen menyadarkan preman yang marah dengan nasihat. Contoh lain juga terdapat pada penerangan ajaran-ajaran islam secara verbal. Tidak berbeda dengan ceramah. Padahal medium film bisa memberikan perspektif yang lebih dalam.

Memang tidak bisa berharap banyak dari film edukasi. Seperti ada keumuman bahwa film edukasi selalu dibuat alakadarnya. Tidak mementingkan kesolidan cerita, mengabaikan teknik videografi yang baik, dan acuh dengan akting pemeran pembantu yang mengganggu.