Perjalanan Bioskop Jogja: Dulu, Kini, dan Nanti
Tidak semua bioskop-bioskop di Jogja mampu bertahan. Bagi mereka yang menyerah, kini bangunannya berganti fungsi. Bagaimana keadaan bekas bioskop generasi awal Jogja?
“Aku mencintai yang tak berubah, tapi manusia berubah seiring waktu,” kata Choi Ung (Choi Woo-sik) dalam serial Our Beloved Summer.
Di serial itu, Choi Ung selalu menggambar gedung atau bangunan yang menarik atau memiliki kenangan tertentu. Tidak ada unsur manusia dalam setiap gambarnya. Menurutnya, bangunan lebih konsisten daripada manusia. Mungkin kalimat itu terdengar manis, meski tentunya sangat mungkin kita debat. Bangunan sangat mungkin berubah, baik penampilan atau fungsinya.
Bioskop Empire salah satu contohnya. Sekitar 23 tahun lalu, bioskop yang berada di Jalan Urip Sumoharjo masih memutarkann film bagi penontonnya. Hingga kebakaran menghanguskan gedung berlantai dua itu. Tidak hanya bioskop di lantai dua, supermarket Hero yang berada di lantai satu juga tidak luput dari jilatan si api. Saya belum menemukan arsip yang kredibel, namun dari obrolan sesama teman dan beberapa tulisan, tidak ada korban jiwa dalam insiden itu.
Kabar yang lebih mengenaskan terjadi setelahnya, di tahun yang sama pada 1999. Kebakaran kembali terjadi di Bioskop Regent yang berada di sebelah Barat Bioskop Empire. Masih berdasarkan kabar mulut ke mulut, dan juga tulisan ke tulisan, ada belasan orang meninggal. Kebakaran terjadi saat film masih diputar.
Empat jasad tidak ditemukan oleh petugas evakuasi. Kejadian ini yang memunculkan mitos ada hantu gentayangan saat Bioskop Empire XXI kembali beroperasi sejak 2009. Menurut cerita, tidak jarang ada empat orang tanpa tiket dan terindikasi bukan manusia yang ikut menonton film di bioskop.
Dyna Herlina Suwarto samar-samar mengingat kebakaran itu. Yang jelas, setelah kebakaran Bioskop Empire, bisa dikatakan Jogja tidak memiliki bioskop yang layak. Memang masih ada bioskop seperti Permata, Indra, dan lainnya. Namun filmnya tidak se-update Empire. Menjelang masa penutupannya, bioskop-bioskop itu lebih banyak memutar film bergenre seks atau horror dengan kualitas rendah.
“Filmnya jelek, kualitasnya menurun. Kemudian ada televisi. Sehingga banyak masyarakat yang lebih banyak nonton televisi, enggak mau ke bioskop lagi,” kata Dyna, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, Rabu (9/2/2022).
Mungkin Bioskop Empire masih tergolong beruntung, meski berubah secara bentuk bangunan, namun dia masih sesuai khittah-nya sebagai bioskop. Saudara di sampingnya kini berubah menjadi tempat parkir non resmi untuk penonton Empire.
Sementara geng bioskop yang sama-sama pernah berada di Jalan Urip Sumoharjo memiliki nasib berbeda. Bioskop Rahayu kini menjadi Toko Tekstil dan Bioskop Royal menjadi toko ban. Di jalan yang sama, pernah ada juga Bioskop Mitra atau Palace.
Berjalan ke arah Barat atau di Jalan Jenderal Sudirman, kita bisa menengok Hotel Novotel yang sebelumnya Bioskop President. Berlanjut ke arah Selatan, ada bekas Gedung Bioskop Indra di Jalan Margo Mulyo atau kawasan Malioboro.
Berdiri sejak 1916, nama awalnya Bioskop Al Hambra. Kala itu ada dua gedung bioskop, Al Hambra dan Mascot. Al Hambra tempat menonton film masyarakat kelas sosial atas seperti keturunan Eropa, pengusaha Tionghoa, serta bangsawan Kraton. Sementara Mascot untuk kelas sosial bawah, dalam hal ini pribumi.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Al Hambra berganti nama menjadi Indonesia Raya (Indra). Bioskop Indra dan Bioskop Luxor (kemudian berganti nama menjadi Permata) merupakan bioskop popular kala itu. Mereka sering memutar film yang update. Kini bekas bangunan Bioskop Indra yang memiliki nuansa Belanda menjadi Teras Malioboro, tempat relokasi Pedagang Kaki Lima yang sebelumnya berjualan di lorong Jalan Malioboro.
Berlanjut ke arah Timur, dahulu ada Bioskop Senopati dan Bioskop Yogya yang berada di satu kawasan. Kini kita bisa melihat bangunan utama Taman Pintar sebagai pengganti kedua bioskop itu. Bergeser sedikit ke Selatan, di Jalan Pekapalan ada Jogja Gallery yang sebelumnya Bioskop Soboharsono. Tidak jauh di Timur-nya, ada lahan bekas Bioskop Widya di Jalan Ibu Ruswo. Dalam beberapa waktu ke depan, lahan itu akan menjadi Puskesmas Gondomanan.
Selain daftar di atas, bioskop-bioskop yang kini hanya kita dengar namanya seperti Bioskop Galaxy dan Golden di Jalan Magelang, Bioskop Ratih di Jalan Margo Utomo, Bioskop Arjuno di Jalan Tentara Pelajar, Bioskop Remaja di Jalan Wates, Bioskop Toegoe di Jalan Jenderal Sudirman, Bioskop THR di Jalan Brigjen Katamso, Bioskop Murba di wilayah Patuk, serta Bioskop Istana di Jalan Kemasan.
Semua Akan Berubah
Berbagai dinamika, bioskop generasi awal di atas digantikan oleh bioskop berjejaring. Ada Jaringan 21 yang berada di Jalan Urip Sumoharjo, Ambarukmo Plaza, Jogja City Mal, dan Sleman City Hall. Pecinta film dari Korea Selatan bisa merapat ke CGV di J-Walk, Hartono Mal, serta Trans Mart. Adapula Bioskop Cinepolis di Lippo Plaza.
Selain Empire XXI, semua bioskop berada di mal. Hal ini yang sedikit banyak Azka Ramadhan resahkan. Dahulu, saat masih sering menonton di Bioskop Mataram dan sejenisnya, Azka tidak terlalu memikirkan pakaian yang hendak dia kenakan.
“Dulu bioskop kayak festival film, kaya pesta rakyat. Orang pakai sendal jepit, celana pendek, sama kaos oblong pun merasa nyaman. Sekarang pakai sendel jepit dan celana kolor pasti diliatin orang-orang. Itu yang hilang. Sekarang gengsi-gengsian, upload story, update, dan lainnya,” kata Azka, salah satu warga Jogja, Senin (7/2). “Ini keresahan sebagai pecinta film, sekarang orang nonton harus dandan, kece, kaya tempat elite, aku agak risih.”
Perkembangan bioskop membuat fungsinya semakin melebar. Dyna mengatakan saat ini bioskop juga tempat orang nongkrong, tidak semata-mata nonton film. Beberapa pengusaha bioskop juga mengubah konsepnya.
“Konsep tidak hanya nonton film, tapi juga bisa untuk nonton konser, makanan di restorannya enak, sampai untuk gathering di bioskop,” kata Dyna yang saat ini sedang kuliah Sarjana 3 di Film and Television Studies, University of Nottingham, Inggris.
Bahkan meski sekarang makin jamak layanan streaming film, bioskop juga tetap akan bertahan. Sejarah memperlihatkan adanya medium baru tidak menggantikan yang lama. “Bioskop tidak akan hilang, namun dia akan berubah,” kata Dyna.
Keterangan:
Tulisan ini tayang pertama kali di Harian Jogja, Februari 2022.